Daftar Blog Saya

Powered By Blogger

sejarah indonesia

Laman

Entri Populer

Total Tayangan Halaman

sejarah indonesia

Entri Populer

Jumat, 24 Desember 2010

Kekayaan Soekarno

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

( Persetujuan dengan Bung Karno – Chairil Anwar )



TD Pardede , tokoh pengusaha asal Medan jaman dulu jika masih hidup tentu akan tercengang membaca berita majalah Tempo :

Dari luar ruangan, sejumlah tokoh melihat pertemuan itu berlangsung dingin. Teh dalam cangkir berlogo Istana Presiden yang diangkut dari rumah Soeharto, tak disentuh. Hendarman – Jaksa Agung – kata sumber itu, lalu mengajukan konsep penyelesaian di luar pengadilan. Diantaranya, keluarga Soeharto harus membayar 4 trilyun kepada negara. Ini sepertiga dari tuntutan Pemerintah, yakni US $ 420 juta dan Rp 185 milyar plus ganti rugi immaterial Rp 10 trilyun atas Yayasan Supersemar .

Mbak Tutut dan adik adiknya hanya terdiam mendengar angka yang diajukan Pemerintah .

Si ompung Pardede yang dekat dengan Bung Karno pasti teringat saat suatu hari dia dipanggil mendadak ke Jakarta. Mengetahui betapa miskinnya sang Presidennya. Setelah ngobrol ngobrol bersama menteri lainnya, Presiden Republik Indonesia itu mengajak TD Pardede ke pojok ruangan.

 “ Pardede, bisa kau pinjamkan aku uang ? “
Gelagapan karena langsung ditodong oleh penguasa negeri. TD Pardede merogoh saku saku jasnya dan memberikan seribu dollar dari kantongnya. Namun Bung Karno hanya mengambil secukupnya dan mengembalikan sisanya kepada Pardede.

Lain cerita salah satu ajudan terakhir,Putu Sugianitri seorang bekas Polisi wanita yang juga harus pensiun tanpa kejelasan. Suatu saat setelah tidak menjadi presiden, Bung Karno jalan jalan keliling kota dan tiba tiba ingin buah rambutan. ” Tri , beli rambutan “.
” Uangnya mana ? ” tanya si polwan asal Bali itu.
” sing ngelah pis ” kata Bung Karno dalam bahasa Bali yang artinya ” saya tak punya uang “.
Jadilah sang ajudan memakai uang pribadinya untuk mantan presiden yang tidak memiliki uang.


Ali Sadikin dilantik menjadi Gubernur pada usia 37 tahun

 Ada juga cerita dari Bang Ali Sadikin.
Saat ia menjabat Menko Maritim. Ia ditanya oleh Bung karno apakah ia bisa membantu bisnis mertua Bung Karno yang berkaitan dengan perijinan pelabuhan. Setelah dipelajari Ali Sadikin mengatakan tidak bisa. Peraturan mengatakan demikian.

“ Ya sudah , kalau tidak bisa “ kata Bung Karno.
Bang Ali berpikir. Luar biasa ini manusia. Padahal sebagai Presiden ia bisa memaksakan memberi perintah. Yang mengagumkan Bung Karno selanjutnya tidak pernah dendam, bahkan kelak mengangkat May.Jend KKO Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta.

Dari cerita tersebut diatas, kita tahu Bung Karno tidak pernah peduli dengan uang atau harta. Ketika turun dari kekuasaan kita tak pernah tahu bahwa Bung Karno dan keluarganya meninggalkan kekayaan yang melimpah ruah.
Saat mendapat surat dari Jenderal Soeharto, bahwa Bung Karno harus meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 16 Agustus 1967. Maka teman teman Bung Karno yang mengetahui rencana itu segera menawarkan dan menyediakan 6 rumah untuk tempat tinggal dan putera puteri Bung Karno.
Mendengar hal itu Bung Karno seketika marah, bahwa ia tidak menghendaki rumah rumah itu. Ia menginginkan semua anak anaknya pindah ke rumah Ibu Fatmawati.

“ Semua anak anak kalau meninggalkan Istana tidak boleh membawa apa apa, kecuali buku buku pelajaran, perhiasan sendiri dan pakaian sendiri. Barang barang lain seperti radio , televisi dan lain lain tidak boleh dibawa ! “
Demikian Bung Karno memerintahkan.
Guntur - putera tertua – setelah mendengar penjelasan itu merasa kecewa, karena ia sudah terlanjur menggulung kabel antenna TV yang akhirnya tidak boleh dibawa pergi.

 Fatmawati

Sementara Ibu Fatmawati mengeluh karena kamar di rumahnya tidak cukup.
Tak berapa lama datang truk dari Polisi yang membawa 4 tempat tidur dari kayu yang bersusun, dengan kasur dan bantalnya tapi tanpa sprei dan sarung bantal. Juga beras 6 karung.
“ Anak anakku semua disuruh tidur di tempat tidur susun dari kayu, tanpa sprei dan sarung bantal “
Konon Ibu Fat, marah marah kepada utusan yang membawa perlengkapan itu.

Bung Karno keluar dari istana dengan mengenakan kaos oblong cap cabe dan celana piyama warna krem. Baju piyamanya disampirkan ke pundak, dan ia memakai sandal bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas Koran yang digulung, berisi bendera pusaka merah putih. Bendera yang dijahit oleh istrinya sendiri, ibu Fatmawati ketika masa proklamasi kemerdekaan dahulu.

Tak ada voor ridjer, pengawalan atau penghormatan seperti ketika Presiden Soeharto – yang diantar Jenderal Wiranto sampai ke mobil Mercedes - meninggalkan Istana Merdeka setelah menyerahkan jabatannya kepada Habibie.

Ia meninggalkan istana dengan mobil vw kodok yang dikendarai seorang supir asal kepolisian. Salah seorang anggota kawal pribadinya membawakan ovaltine, minuman air jeruk, air teh, air putih, kue kue serta obat obatan Bung Karno.

Itulah seluruh harta yang dimiliki Bung Karno ketika meninggalkan Istana.
Selebihnya ditinggalkan. Kelak harta kekayaan Soekarno yang ditinggal di Istana didata oleh pihak penguasa dengan dibuatkan berita acara. Barang barang itu mulai dari logam emas batangan, lukisan lukisan, buku buku, pakaian, minyak wangi, bolpen, uang dollar yang semuanya bernilai tidak sedikit. Dan semua itu tidak pernah diserahkan kepada Bung Karno atau keluarganya. Tidak jelas siapa yang mewarisi.

SOEKARNO, Demokratis atau Diktator??

TIDAK
Sejak proklamasi kemerdekaan 1945, selama limabelas tahun Soekarno praktis cuma Presiden simbolis. Sampai 1959 pemerintahan ganti-berganti berada di tangan orang-orang sealiran dengan Hatta-Syahrir atau para soekarnois yang harus berkompromi dengan partai Masyumi dan PSI. Soekarno baru bisa dikatakan "berkuasa" hanya enam tahun terakhir sejak diumumkan "Demokrasi Terpimpin" bulan Juli 1959. Itu pun cuma kekuasaan formal karena paralel di samping kekuasaan Soekarno, dari pusat sampai ke daerah berjalan kekuasaan Angaktan Darat yang masif, rëel dan efektif dengan senjata di tangan. Militerlah yang menjalankan kekuasaan dengan menggonceng pada wibawa Soekarno, termasuk melancarkan penangkapan-penangkapan
politik dengan legalites SOB. Mereka melakukan berbagai pengekangan kebebasan politik semua atas nama Soekarno. Selanjutnya mereka melancarkan berbagai manuver politik seperti misalnya memanfaatkan (kalau tidak mau disebut menciptakan) Manikebu, BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme), dan menunggangi konsep Soekarno tentang "golongan fungsional".


Kelompok militer Angkatan Darat yang merongrong Soekarno itu jugalah kemudian berkuasa leluasa dijaman "Orde Baru" tanpa ada penghalang apa-apa lagi. Angkatan Darat telah berhasil menunaikan "tugas internasionalnya" menegakkan paradigma McCarthy di Indonesia dengan tuntas dan gemilang, menghancurkan PKI dan menggésér Soekarno dari pentas sejarah. Sejak 17 Oktober 1952 sampai 1965 Angkatan Darat bermain di bawah-bawah, menyusup dan menyatu dengan kekuatanprogresif-revolusioner, di era Orde Baru watak asli sesungguhnya kekuasaan militer barulah muncul telanjang bulat di permukaan dengan mitra sipilnya Golongan Karya.


Lagipula Soekarno tidak punya bakat sama sekali untuk jadi diktator. Untuk itu
dia harus tidak punya hati nurani, harus tega mampu membunuh dan memenjarakan rakyatnya sendiri sebagaimana didemonstrasikan oleh jendral Soeharto selama tigapuluh tahun kekuasaannya. Tetapi Soeharto itulah yang oleh Dunia Barat dianggap telah berhasil "mengkoreksi total otoriterisme Soekarno" kembali ke "jalan benar", kejalan demokrasi yang dainggap benar oleh Barat.



Soekarno sebagai pemimpin yang paling mengerti rakyatnya, secara sadar menolak mendjiplak mentah-mentah demokrasi Barat walaupun otaknya penuh berisi ide-ide sosial-demokrasi, Aufklärung dan berbagai konsep sosial revolusi Perancis, revolusi Amerika sampai pada perjuangan Willem van Oranje melawan Spanyol. Dia sepenuhnya diilhami konsep-konsep Barat, tetapi dia berdiri kukuh dengan kedua kakinya di bumi tanah-airnya. Dari pengalaman langsung yang dia rasakan pada badannya sendiri, dia tahu betul bahwa menuntut reform sosial, membela rakyat tertindas dalam sistem demokrasi Barat, pada ujung-ujungnya selalu rakyat akan berada di pihak yang kalah. Maka dia kembangkan ide yang berasal dari Ki Hadjar Dewantoro "democratie met leiderschap" (demokrasi terpimpin), dan kita semua tahu bahwa Demokrasi Terpimpin Soekarno dalam masa balita-nya sudah dibantai berdarah pada tahun 1965.



Demokrasi Terpimpin tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk membuktikan bahwa gagasan itu bermanfaat dan diperlukan bagi rakyat yang ingin memperbaiki nasibnya sendiri. Di dunia Barat, demokrasi berkesempatan diuji (disosialisasi) seabad lebih sebelum dia sampai menjadi sistem mapan yang kita kenal sekarang ini. Soekarno dengan eksperimen demokrasinya yang cuma sempat berjalan lima tahun

YA
  Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang emperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.

Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.


ukarno yang sudah dihinggapi sifat anti-demokrasi jelas tidak bisa menerima sepenuh hati perjuangan menegakkan demokrasi. Praktek demokrasi parlementer diawal kemerdekaan yang dipenuhi aspirasi masyarakat dihapuskannya begitu saja dengan tudingan telah menjiplak demokrasi borjuis. Akibatnya, kekecewaan terhadap Sukarno memuncak menjadi pemberontakan. Apalagi sikap kekiri-kiriannya yang kental telah menjadikan Sukarno hendak membangun aliansi internasional dengan negara-negara komunis (Cina dan Uni Sovyet). Sesudah kunjungannya ke Cina ditahun 1956, Sukarno tampak sangat mengagumi Mao Tse Tung, dan terutama Chou En Lai. Sedangkan hubungannya dengan Hatta makin menjauh. Dalam sebuah kesempatan bertemu dengan dubes AS Hugh S. Cumming 27 Februari 1957, Hatta menceritakan kekurang-pahaman Sukarno dalam mencermati perkembangan demokrasi parlementer.

Sukarno yang awalnya sangat akrab dengan Mohammad Natsir, tokoh Masyumi, mendadak berubah sesudah terjadi perbedaan pandangan politik. Sukarno membangun opini politis yang menyebutkan bahwa gagasan mendirikan "negara" Islam jauh lebih berbahaya daripada sebuah rezim komunis. Opini bertambah kencang dihembuskan saat dikait-kaitkan dengan kelompok DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Tanpa ada upaya untuk memahami latar-belakang terjadinya pemberontakan tersebut, yang sebenarnya merupakan reaksi atas perjanjian Renville Januari 1948. Dimana perjanjian itu telah memperbolehkan tentara Belanda kembali masuk kedalam wilayah Jawa Barat.

Begitupula dengan pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tengku Daud Beureu'eh di Banda Aceh, yang sesungguhnya merupakan reaksi atas sikap-sikap arogan dan anti-demokrasi dari Sukarno. Namun, kelihaian berpolitik kelompok Sukarno justru membalik fakta dan menciptakan citra buruk atas pemberontakan diatas.

Poros Jakarta-Pyongyang-Peking yang dibangun saat Sukarno sangat akrab dengan PKI telah menjadikan posisi Indonesia makin terpencil dari dunia internasional. Sembari menindas kekuatan demokrasi, Sukarno memprakarsai demokrasi terpimpin (1959-1965) yang sangat jelas merupakan kediktatoran. Untuk mengabadikan kekuasaannya, Sukarno banyak memproduksi simbol-simbol Jawa agar bisa diterima oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Sedangkan hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga juga mengalami kemunduran dengan dicetuskannya "ganyang Malaysia".

Sukarno mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah dalam negeri dengan mencari musuh di luar-negeri. Berbagai slogan dan propaganda politik diproduksi hanya semata untuk memenuhi hajat Sukarno berkuasa. Mobilisasi massa dikerahkan untuk dikirim sebagai sukarelawan/sukarelawati menghadapi satuan-satuan tempur elit Inggris (SAS) di Kalimantan Utara. Bahkan untuk memobilisasi sukarelawati menggayang Malaysia, Sukarno perlu mengeluarkan Kepres tahun 1964 yang menjadikan Kartini sebagai sosok wanita pejuang Indonesia. Ribuan nyawa melayang hanya untuk menjadi korban ambisi politik Sukarno. Bahan-bahan indoktrinasi dari Sukarno telah melahirkan sebuah ajaran baru selain Marhaenisme. Yaitu Sukarnoisme, yang merupakan ajaran bersumber dari pemikiran-pemikiran Sukarno.

Sukarnoisme banyak diminati oleh mereka yang terpesona pada kharisma Bung Karno (BK), selain juga ada yang mempelajarinya diluar konteks keterpesonaan tersebut. Bung Karno sendiri memang sosok besar dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, sehingga wajar jika dia ditempatkan dalam sejarah sebagai proklamator dan sering dipuja. Tapi, kelompok Soekarnois telah sangat mengkultuskan sosok Soekarno hingga sangat tidak wajar sehingga cenderung kurang obyektif. Ajaran Soekarno disebarkan sembari memberangus prosedur demokrasi.

Di antara ajaran Sukarno yang menyangkut masalah sosial-politik dan sosio-ekonomi yang nampak sangat kuat berada didalam Manipol USDEK (Manifesto Politik Undang-Undang Dasar '45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia), yang pada dekade '60-an menjadi bahan indoktrinasi pada masyarakat. Arahan-arahan yang dikandung dalam Sukarnoisme lalu dikembangkan sedemikian rupa oleh orang-orang dekat BK, demi kepentingan tertentu. Sehingga rakyat dihipnotis mengikuti apa yang diutarakan oleh Sukarno. Berbagai mitos-mitos bersifat politis diciptakan pula demi tetap mengabadikan kekuasaannya. Baik langsung maupun tidak langsung, banyak orang-orang yang kagum pada Sukarno lalu mendewa-dewakannya.

Kehadiran Sukarno diidentikkan dengan kehadiran Ratu Adil yang berjanji akan membawa rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemakmuran dan kesejahteraan. Mitos lain menyebutkan adanya hubungan Sukarno kepada para leluhur masa lalu yang juga telah memegang kekuasaan. Semuanya itu bertujuan untuk tetap mengabadikan Sukarno sebagai lambang kekuasaan tunggal di Indonesia. Pemitosan Sukarno jelas kemudian sangat menguntungkan para politisi di sekitarnya.

23 kali upaya pembunuhan?

                                                                         illustrasi

Terjadi pada tanggal 30 November 1957, di Cikini, dimana pada saat itu Bung Karno menghadiri bazar peringatan ulang tahun Yayasan Perguruan Cikini. Guntur dan Megawati adalah murid SD Yayasan Perguruan Cikini. Bung Karno sempat meninjau berkeliling sekitar 25 menit, dan ketika pulang tiba-tiba terdengar ledakan hebat, yang belakangan adalah ledakan granat yang dilempar dari sekitar sekolah. Para pelakunya Jusuf Ismail, Saadon bin Mohammad, Tasrif bin Husein, dan Moh Tasin bin Abu bakar berhasil dibekuk dan di hadapkan ke pengadilan militer. Mereka di jatuhi hukuman mati pada 28 April 1958.

2. Penembakan dengan Pesawat MIG-17 ke Istana Negara
                                                              Daniel Maukar diadili

Pada tanggal 9 Maret 1960, Bung Karno sedang berada di Istana Merdek. Sebuah pesawat terbang MIG 15 terbang rendah dan melepaskan rentetan tembakan tepat mengenai Istana Merdeka. Beruntung Soekarno tidak berada di tempat. Letnan Daniel Maukar, pilot pesawat itu mendaratkan pesawatnya di persawahan daerah garut karena kehabisan bahan bakar. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati, tetapi sebelum sempat menjalani hukumannya, Bung Karno mengumumkan amnesty umum terhadap PRRI/PERMESTA
Yang pernah memberontak. Maukar yang termasuk unsure PRRI.PERMESTA, langsung dibebaskan.


3. Usaha penembakan dalam acara Idhul Adha
Pada tanggal 14 Mei 1962, saat rakyat termasuk Bung Karno sedang berjajar dalam shaf hendak melaksanakan Sholat Idul Adha dengan mengambil tempat di lapangan rumput antara Istana Merdeka dan Istana Negara, tiba-tiba terdengar tembakan pistol bertubi-tubi diarahkan kepada Bung Karno dari jarak 4 shaf dibelakangnya. Ketika diperiksa, penembak mengaku melihat Bungkarno yang dibidiknya, ada dua orang dan menjadi bingunglah ia jendak menembak yang mana. Tembakannya meleset tidak mengenai Bung Karno yang menjadi sasaran, sebaliknya menyerempet bahu Ketua DPR Zainul Arifin dari NU yang mengimami shalat. Orang tersebut divonis mati, tetapi ketika disodorkan kepada Bung Karno untuk membubuhkan tandatangan untuk di eksekusi, Bung Karno tidak sampai hati untuk merentangkan jalan menuju kematiannya, karena ia berpikir bahwa pembunuh sesungguhnya adalah orang-orang terpelajar ultra fanatic yang merencanakan perbuatan itu.

Seorang kiai yang memimpin pesantren di daerah Bogor H. Moh Bachrm, dituduh mengatur rencana tersebut dan memerintahkan melakukannya. Setelah meletus G30S, tempat tahanannya dipindahkan ke Penjara Salemba berbaur dengan ribuan tahanan G30S. ditempat itu juga ditahan seorang kapten CPM yang pernah menginterograsinya. Haji Moh. Bachrum menyangkal semua tuduhan. Sikapnya terhadap tahanan G30S, sangat baik dan selama di Salemba, ia ditunjuk mengimami sembahyang berjamaan yang diikuti oleh semua tahanan yang beragama Islam yang diselenggarakan di lapangan penjara. Ia bebas lebih cepat dari pada para tahanan G30S, karena dianggap berkelakuan baik.


4. Serangan mortar dari gerombolan Kahar Muzakar
Di jalanan keluar dari Bandara Mandai menuju Kota. Peluru mortar diarahkan untuk mengenai kendaraan Bung Karno, tetapi ternyata meleset jauh


5. Pelemparan granat di Makassar
Bung Karno dilempar granat pada malam hari di Jalan Cenderawasih, saat Bung Karno dalam perjalanan menuju Gedung Olahraga Mattoangin untuk menghadiri suatu acara. Lemparan granat itu meleset dan jatuh mengenai mobil lain yang beriringan dengan mobil Bung Karno .

Apakah aku akan menjadi komunis atau tidak, jawabnya ialah: T-I-D-A-K!

Dalam menghadapi tokoh dunia yang seide Bung Karno akan tampil begitu manisnya, tapi dia akan begitu garang bila menghadapi tokoh-tokoh Negara besar yang tidak memberikan rasa hormatnya kepada Indonesia.
Nah, ini adalah sekelumit pujian Bung Karno kepada Mao. Pertama, ia memuji Mao sebagai seorang pemimpin yang cerdik. Dikisakan, pada satu periode, Negeri Tirai Bambu itu terancam bahaya kelaparan. Tanaman padi, jagung, dan gandung yang ditanam para petani, terancam gagal panen.

Ancaman terhadap produksi bahan pakan negeri dengan penduduk terbesar di dunia itu, datang dari jutaan burung pipit yang hidup liar di seantero negeri. Betapa tidak, tatkala bulir-bulir padi mulai ruah, kawanan burung pipit menyerbunya habis. Pohon padi yang siap panen pun menjulang tanpa isi. Sebuah ancaman kelaparan sungguh tampak di pelupuk mata.

Mao Zedong menerapkan strategi jitu guna menuntaskan hama burung pipit di negerinya. Mao tahu, burung pipit hanya punya kemampuan terbang terus-menerus selama empat jam. Maka, pada suatu ketika, Mao memerintahkan rakyatnya yang waktu itu berjumlah 600 juta, untuk secara serentak memukul tong-tong dari bambu, mengoyak-oyak pepohonan, berteriak-teriak atau berbuat sesuatu untuk menghalau burung pipit.
Perintah Mao dipatuhi. Alhasil, suatu hari, sejak pukul lima pagi hingga jam sembilan, ratusan juta rakyat di seluruh penjuru negeri melaksanakan perintah Mao. Gaduhlah negeri itu. Syahdan… jam sembilan lebih 30 menit, kurang lebih, jutaan burung pipit berjatuhan, lemas menggelepar di tanah. Sontak jutaan rakyat Cina menangkap, memungut, menggoreng dan memakannya. Persoalan pun teratasi.

Bung Karno sangat sering menyitir kejadian di atas dalam banyak kesempatan, di banyak negara. Tak heran jika sebagian orang yang tidak menangkap substansi, langsung menuding Bung Karno berbaik-baik dengan tokoh komunis. Bahkan tidak sedikit yang menuding adanya kecenderungan Bung Karno menjadi komunis.

Atas tudingan sampah tadi, Bung Karno lewat buku yang ditulis Cindy Adams menukas, “Aku akan memuji apa yang baik, tak pandang sesuatu itu datangnya dari seorang komunis, Islam, atau seorang Hopi Indian. Akan tetapi, betapa pun, pandangan dunia luar, maka terhadap persoalan apakah aku akan menjadi komunis atau tidak, jawabnya ialah: T-I-D-A-K!”
Bahwa ia bersahabat baik dengan Moskow dan Beijing, Bung Karno bardalih karena memang kedua negara –yang kebetulan komunis– itu begitu menghormati dan mengagungkan Bung Karno. Ia mengambil contoh, saat berkunjung ke Moskow, 150 orang Rusia berbaris untuk menyanyikan lagu “Indonesia Raya” sebagai penyambutan terhadap kedatangan Bung Karno di lapangan terbang, sungguhpun Bung Karno datang dengan pesawat terbang Amerika (PanAm). Atas peristiwa itu, Bung Karno mengaku terharu, bahkan air matanya berlinang-linang.


Demikian pula ketika Bung Karno berkunjung ke Cina. Di Beijing, rakyat Cina menyambut kedatangan Bung Karno dengan arak-arakan pawai raksasa serta tembakan penghormatan. Bung Karno bahkan bisa merasakan, orang-orang yang ikut dalam rombongannya, ikut merasakan bangga. Bangga karena bangsa Indonesia yang telah diinjak-injak, kini telah mengambil tempatnya, berdiri di antara bangsa-bangsa besar.

Bung Karno dan Tan Malaka

Hingga hari ini, nama Tan Malaka tetap menyimpan misteri. Tidak satu pun catatan sejarah yang menafikan peran Tan Malaka dalam perjuangan mewujudkan Indonesia merdeka. Bahkan sejarah juga mengungkap, Tan Malaka-lah tokoh progresif revolusioner pertama yang mencatatkan gagasan Indonesia Merdeka pada tahun 1925, melalui tulisan berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Itu atinya, gagasan yang mendahului ide merdeka seperti ditulis Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).

Yang menarik, sejumlah kalangan menganggap, Tan Malaka sebagai Che Guevara-nya Indonesia. Dia pula yang berperan besar menggerakkan massa pada rapat akbar di lapangan Ikada pasca proklamasi kemerdekaan. Sejak itu, garis pro kemerdekaan dan pro status quo jadi tampak nyata. Gerakan menentang Jepang pun marak di mana-mana. Api revolusi, euforia kemerdekaan menyeruak di setiap dada pemuda Indonesia.

Dari satu catatan sejarah, tertoreh catatan adanya “rapat gelap” empat mata antara Bung Karno dan Tan Malaka, awal September 1945, di malam takbiran, menjelang Idul Fitri. Saksi penutur adalah Dr. R. Soeharto, yang tak lain adalah dokter pribadi Bung Karno. Kebetulan, rumah Soeharto di Jl. Kramat Raya 128 Jakarta Pusat itu pula yang dijadikan ajang pertemuan dua tokoh kemerdekaan kita.

Wanti-wanti Bung Karno kepada Soeharto adalah, selama pertemuan berlangsung, semua lampu harus dimatikan. Benar-benar rapat gelap dalam arti harfiah. Intinya, pertemuan itu sangat dirahasiakan. Anehnya, Soeharto sendiri tidak tahu, siapa “lawan rapat gelap” Bung Karno. Sebab ketika datang diantar Sayuti Melik, si tokoh itu memperkenalkan diri sebagai Abdulrajak dari Kalimantan.

Setahun kemudian, 1946, Soeharto baru tahu bahwa Abdulrajak adalah Tan Malaka. Dan rapat malam itu ternyata membahas tentang siapa yang akan memegang pimpinan nasional, seandainya Bung Karno dan Bung Hatta secara fisik tidak dapat melajutkannya karena dibunuh atau ditawan pihak Jepang, Belanda, atau Sekutu. Dalam kegelapan malam, Tan Malaka usul kepada Bung Karno, agar dirinyalah yang ditunjuk sebagai pewaris tunggal. Bung Karno dalam beberapa kesempatan, memuji Tan Malaka sebagai tokoh yang mahir dalam pergerakan revolusi. Sekalipun begitu, ia tidak serta merta menyetujui usul Tan Malaka. Kesimpulan rapat di kegelapan malam itu adalah, Bung Karno akan membuat testamen berisikan penunjukan siapa yang akan meneruskan pimpinan nasional, jika terjadi hal-hal seperti dikhawatirkan di atas.


Pertemuan kedua dilangsungkan di rumah Mr. Subardjo, yang memang sudah dikenal baik oleh Tan Malaka. Dalam kesempatan itu, Bung Karno tidak datang sendiri, melainkan mengajak serta Wakil Presiden Bung Hatta. Rapat kedua itu memutuskan empat nama penerus tampuk pimpinan nasional, jika Bung Karno – Bung Hatta terbunuh, ditawan, atau tidak menjalankan tugasnya sebagai presiden dan wakil presiden. Adapun keempat nama itu adalah: Tan Malaka, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Sjahrir, dan Mr. Wongsonegoro.

Masuknya nama Sjahrir dan Wongsonegoro atas usul Hatta, alasannya Sjahrir punya pengaruh di kalangan terpelajar, sedangkan Wongsonegoro dkenal kalangan pangreh praja. Nama Iwa Kusumasumantri atas usul Mr. Subardjo, karena tokoh Pasundan ini memang dikenal berpengaruh luas di kalangan buruh dan suku Sunda.

Di kemudian hari, Bung Hatta mengakui ihwal hubungan personalnya dengan Tan Malaka yang disebutnya sebagai “tidak baik”. Karenanya, atas statemen Tan Malaka yang mengatakan bahwa ia tidak bersahabat dengan Hatta, memang dibenarkan oleh Hatta. Bisa jadi, karena itu pula, Bung Karno dan Bung Hatta tidaklah mungkin menyerahkan kekuasaan pimpinan nasional kepada Tan Malaka seorang.

Tuan boleh punya bom atom, tapi kami punya seni yang tinggi

Adalah kebiasaan Presiden AS, John F. Kennedy menerima tamu-tamu negara di lantai atas Gedung Putih. Tapi protokol itu tidak berlaku bagi Sukarno, Presiden Republik Indonesia. Dan itu dinyatakan langsung kepada protokol Gedung Putih, “Kennedy mesti turun. Sambut saya di bawah. Kalau tidak, saya tidak akan datang.”

Entah bagaimana si petugas protokol itu menyampaikannya ke Kennedy. Tetapi yang jelas, ketika Bung Karno datang ke Gedung Putih, Kennedy turun ke ke lantai bawah, dan menyambutnya dengan ramah. Setelah ritual pertemuan dua kepala negara sekadarnya, barulah keduanya bersama-sama menaiki tangga ke atas, diiringi para staf kedua petinggi negara tadi.

Bukan hanya itu. Bung Karno bahkan diberi kesempatan berpidato di Gabungan Kongres dan Senat Amerika Serikat. Ini sangat jarang terjadi, Kepala Negara disambut di Amerika Serikat dengan Sidang Gabungan Kongres dan Senat.

O, ya… mundur sedikit ke belakang, ke saat di mana Bung Karno tiba di Gedung Putih, disambut Kennedy di bawah. Ketika itu, Kennedy sempat memperkenalkan para staf yang mendampinginya. Salah satunya adalah Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Charles Wilson, nama lengkapnya Charless Nesbitt Wilson. Politisi kelahiran Texas tahun 1 Juni 1933, alias satu zodiak dengan Bung Karno.

Ketika diperkenalkan, Wilson yang berperawakan gagah dan berwajah macho, maju hendak menyalami Presiden Sukarno. Saat itulah muncul spontanitas humor diplomasi yang sungguh luar biasa dari seorang Sukarno, presiden negara berkembang yang belum lama lepas dari penjajahan Belanda.

Kepada Wilson, Bung Karno tidak sekadar mengulurkan tangan untuk bersalaman. Lebih dari itu, Bung Karno dalam bahasa Inggris yang fasih berkata, “Kombinasi baju dan dasi Tuan tidak bagus,” berkata begitu sambil Bung Karno membetulkan ikatan dasi yang kelihatan miring. Selesai merapikan dasi Menhan Amerika Serikat, Bung Karno melanjutkan ucapannya, “Tuan boleh punya bom atom, tapi kami punya seni yang tinggi.”

Bayangkan, mental siapa yang tidak koyak. Apalagi Bung Karno melakukan semua gerakan dan ucapan tadi dengan sangat penuh percaya diri, disaksikan begitu banyak orang. Dari hal-hal kecil seperti itulah, dignity, harga diri kita sebagai bangsa dibangun oleh Bung Karno, sehingga Indonesia tidak dipandang sebelah mata

Apa??? Kamu kan orang Timur? Apa kamu sudah kehilangan hormat pada ayahmu, yang memberi kamu nama itu?

Soekarno di dalam istana kepresidenan berkata : “Saya panggil Mr. Oei untuk diangkat menjadi Menteri yang akan membantu Presiden dan Presidium (Dr. Subandrio, Dr. Leimena, dan Chaerul Saleh). Bagaimana?” Oei Tjoe Tat menjawab polos, “Mengagetkan, tak perah saya impikan dan inginkan.”

Rupanya Bung Karno tidak berkenan dengan jawaban itu, sehingga memberondong Oei dengan pertanyaan yang bertujuan menguji loyalitasnya sebagai kader Partindo, ketaatannya kepada Presiden Republik Indonesia dan Pemimpin Besar Revolusi, dan sebagainya, dan sebagainya. Oei Tjoe Tat pun akhirnya menerima baik pengangkatan itu. Apalagi setelah Bung Karno dengan suara berat berkata, “Sayalah yang menentukan kapan Bangsa, Negara, dan Revolusi memerlukan Saudara, bukan Saudara sendiri.”


Terakhir, Oei Tjoe Tat kembali bikin “perkara” dengan Bung Karno, ketika ia melontarkan pertanyaan, “Apakah nanti sebagai Menteri Republik Indonesia saya sebaiknya mengganti nama, dan apakah Presiden berkenan memilihkan nama baru saya?”

Muka Bung Karno sontak merah, dan berkata meledak-ledak, “Wat? Je bent toch een Oosterling? Heb je gen respect meer voor je vader, die je die naam heft gegeven…” (Apa? Kamu kan orang Timur? Apa kamu sudah kehilangan hormat pada ayahmu, yang memberi kamu nama itu?”

Jawaban Bung Karno ditangkap jelas oleh Oei Tjoe Tat, bahwa Presiden Sukarno bukan rasialis. Sepulang dari Bogor dan menceritakan pengalamannya itu, istrinya hanya melongo.